“Haruskah aku berangkat?”
Itulah kataku di dalam hati pada pagi hari menjelang
keberangkatan, berat rasanya meninggalkan segala sesuatu yang ada di sekeliling
kita, yang selalu membuat kita merasa dicintai, di kasihi dan dibuat nyaman
oleh kebersamaan, begitu pula kita yang sangat mengasihi mereka.
Berat sekali terus terang apalagi ketika melihat putri
pertamaku yang entah mengapa, terus menatapku dan selalu minta di gendong.
Malam harinya bahkan sempat terbersit di pikiran untuk membatalkan keberangkatanku. Ya, membatalkan!
Tapi untung aku memiliki istri yang selalu menyemangatiku untuk berjuang dan berusaha. Ini ikhtiar, dan ini adalah jalan untuk berhijrah, berhijrah untuk penghidupan yang lebih baik, untuk menaikkan derajat hidup diri, keluarga dan orang sekitar, perjuangan untuk iman dan selebihnya adalah mereguk pengalaman yang amat sangat langka. Sesungguhnya iman kita betul-betul diuji kala itu ketika kita berat meninggalkan apa yang kita cintai, setan terasa selalu begitu menggoda untuk kita berhenti berikhtiar.
Disaat begini aku jadi teringat kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam, dimana beliau diperintahkan Allah untuk meninggalkan anak yang masih menyusi, Ismail Alaihissalam dan istrinya, Siti Hajar di tengah padang pasir yang kering dan panas, dengan ikhlas Nabi Ibrahim pun menuruti perintah Allah, demikian juga istrinya. Demi hal yang lebih baik lagi di kemudian hari, bahkan yang kita rasakan hingga saat ini, sumber air Zam-Zam dan kota Makkah yang diberkahi, yang menjadi pusat ibadah kaum muslimin diseluruh dunia adalah hasil ikhtiar Nabi Ibrahim. Belum lagi kisah Rasullullah SAW yang berhijrah ke Madinah, juga untuk hal yang lebih baik.
Dan masih banyak lagi kisah-kisah lain tentang berhijrah untuk hal yang lebih baik. Jika di zaman dahulu yang belum ada internet, telepon bahkan belum ada surat menyurat saja orang rela dan ikhlas. Masak di zaman internet, wifi, telepon, video call di line, skype, whatsupp, belum lagi update status di facebook dan path kita masih saja manja. Masih kurang untuk bersyukur? Ah..malu rasanya.
Tapi untung aku memiliki istri yang selalu menyemangatiku untuk berjuang dan berusaha. Ini ikhtiar, dan ini adalah jalan untuk berhijrah, berhijrah untuk penghidupan yang lebih baik, untuk menaikkan derajat hidup diri, keluarga dan orang sekitar, perjuangan untuk iman dan selebihnya adalah mereguk pengalaman yang amat sangat langka. Sesungguhnya iman kita betul-betul diuji kala itu ketika kita berat meninggalkan apa yang kita cintai, setan terasa selalu begitu menggoda untuk kita berhenti berikhtiar.
Disaat begini aku jadi teringat kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam, dimana beliau diperintahkan Allah untuk meninggalkan anak yang masih menyusi, Ismail Alaihissalam dan istrinya, Siti Hajar di tengah padang pasir yang kering dan panas, dengan ikhlas Nabi Ibrahim pun menuruti perintah Allah, demikian juga istrinya. Demi hal yang lebih baik lagi di kemudian hari, bahkan yang kita rasakan hingga saat ini, sumber air Zam-Zam dan kota Makkah yang diberkahi, yang menjadi pusat ibadah kaum muslimin diseluruh dunia adalah hasil ikhtiar Nabi Ibrahim. Belum lagi kisah Rasullullah SAW yang berhijrah ke Madinah, juga untuk hal yang lebih baik.
Dan masih banyak lagi kisah-kisah lain tentang berhijrah untuk hal yang lebih baik. Jika di zaman dahulu yang belum ada internet, telepon bahkan belum ada surat menyurat saja orang rela dan ikhlas. Masak di zaman internet, wifi, telepon, video call di line, skype, whatsupp, belum lagi update status di facebook dan path kita masih saja manja. Masih kurang untuk bersyukur? Ah..malu rasanya.
Dengan ditemani cerita-cerita kekasih Allah nan penuh inspiratif: ” Qatar..I am coming!!, Bismillahi
Tawakaltu..Lahaulawalaquwwata Illabillah”..Aku serahkan segala kekuatan
kepadaMu, lindungilah keluargaku, lindungilah aku, permudahkan jalanku dan
berikan kami kebaikan dari semua keputusan ini.
Aamiin.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pesawatku dijadwalkan berangkat sore hari sehingga pagi
hingga siang aku manfaatkan untuk mengecek segala persiapan yang sudah
dilakukan. Yang paling ku takutkan bukanlah pakaian atau makanan, melainkan
dokumen. Berulang kali aku mengecek dokumen-dokumen yang disebutkan di dalam
email. Alhamdulillah sudah semua. Setelah itu kini saatnya melakukan penukaran
uang, mata uang Negara Qatar adalah Qatar Rial (QR).
Untuk kehidupan awal bawalah sedikitnya 2000 QR atau sekitar
7,4 juta rupiah. Tapi sayang, mata uang
QR tidak tersedia di money changer yang dekat dengan rumah, padahal biasanya
lengkap, yasudah akhirnya aku menukar dalam bentuk dollar dan akan ku tukar ke
QR setibanya disana.
Di bandara aku diantar oleh kedua orang tuaku, adik, istri, anak, mertua , ipar ..Tak lupa untuk berfoto di bandara
dengan semuanya..
Akhirnya.. nama penerbanganku sudah di sebut di pengeras
suara, saatnya masuk ruang boarding, peluk cium dan pesan-pesan penuh haru
masuk ke telingaku yang tak akan ku pernah lupa.
Bismillah, Qatar..I am Coming!!
0 Comments:
Post a Comment